A.
Variabel Pembelajaran Bahasa
Dalam proses belajar-mengajar
bahasa, akan kita dapati berturut-turut variabel yang meliputi (1) murid, yaitu
objek yang akan dikenai proses belajar-mengajar dan yang diharapkan mempunyai
sikap dan kemampuan yang lebih baik setelah proses itu selesai; (2) guru,
sebagai subjek yang bertugas melaksanakan proses belajar-mengajar itu, baik
sebagai fasilitator, informator, maupun pembimbing; (3) bahan pelajaran, yakni
sesuatu yang harus disampaikan oleh guru dan murid dalam proses
belajar-mengajar itu; dan (4) tujuan pengajaran, yakni sesuatu yang akan
dicapai melalui proses belajar-mengajar itu. Keempat variabel ini mempunyai
hubungan fungsional dalam proses belajar-mengajar dan turut menentukan
keberhasilan belajar itu.
Di samping yang sudah disebutkan di
atas, masih ada variabel lain seperti faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial,
dan etnis yang merupakan variabel-variabel yang bersinggungang langsung dengan
ilmu sosiolinguistik. Umpamanya, murid yang sehari-hari di rumah dan di
lingkungan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan mempunyai
kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran bahasa Indonesia daripada
murid yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakat yang tidak
menggunakan bahasa Indonesia.
Demikian juga murid akan berhasil
dalam belajar bahasa Indonesia apabila orang-orang yang terlibat dalam
lingkungan sekolah dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia
daripada tidak berbahasa Indonesia. B. Pengajaran Bahasa Kedua Dalam masyarakat
multilingual, tentu akan ada pengajaran bahasa kedua, mungkin juga bahasa
ketiga. Pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah
sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak terlalu berat bila bahasa kedua yang
dipelajari adalah bahasa yang serumpun dengan bahasa pertama. Menurut anggapan
umum, anak-anak lebih unggul dalam pembelajaran bahasa asing dibandingkan
dengan orang dewasa. Anak-anak lebih cepat “menangkap” dan memahami kata-kata
asing daripada orang dewasa (Kridalaksana, 2009: 25). Pengajaran bahasa kedua
di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar
(kira-kira 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan
menengah (kira-kira 13 tahun) untuk bahasa asing. Menurut Pei (dalam Chaer
& Agustina, 1995) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola
bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing.
Dengan demikian, ketika anak Indonesia—yang bahasa pertamanya adalah bahasa
daerah—mulai mempelajari bahasa Indonesia, mereka sudah terbiasa dengan
pola-pola bahasa pertamanya. Sebagai kesimpulan, dalam mempelajari bahasa kedua
perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan pola yang terdapat antara bahasa
pertama, yang telah dikuasai dengan pola-pola bahasa yang dipelajari. Begitu
juga latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan. C. Bilingualitas dan
Bilingualisme Pada keadaan tertentu akan didapati orang-orang yang mampu
berbicara lebih dari satu bahasa. Masyarakat bahasa tertentu yang bertemu dan
hidup dengan masyarakat bahasa yang lain sangat mungkin saling menyesuaikan
diri dengan bahasa tertentu. Bilingualitas adalah keadaan psikologis seseorang
yang mampu menggunakan dua bahasa dalam komunikasi sosial. Sedangkan
bilingualisme adalah suatu konsep yang mencakup konsep bilingualitas dan juga
keadaan yang menggambarkan terjadinya kontak bahasa di antara sebuah masyarakat
bahasa tertentu dengan masyarakat bahasa lainnya (Hammers dan Blanc dalam
Kridalaksana, 2009). Bilingualitas seseorang dapat dilihat dari berbagai
dimensi, sepeti kemampuan berbicara di dalam kedua bahasa, organisasi
kognitifnya, atau status kedua bahasa baginya. Seseorang yang belajar bahasa
pertama dan kedua dalam waktu yang hampir sama dan dalam konteks yang sama
biasanya mempunyai representasi kognitif yang sama untuk kata tertentu dalam
bahasa yang berbeda. Konsep-konsep mengenai bilingualitas di atas sangat
berguna untuk memahami seseorang yang menguasai atau mengenal lebih dari dua
bahasa. Indonesia adalah salah satu lahan subur untuk penelitian yang demikian
karena di negeri ini, setidaknya, hampir semua orang mengenal bahasa daerah dan
bahasa Indonesia. Sudah tentu, kebanyakan orang Indonesia adalah dwibahasawan.
D. Pendekatan Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa Sosiolinguistik memandang
bahwa penggunaan bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor struktural,
tetapi juga oleh faktor-faktor sosial, faktor-faktor situasional, dan
faktor-faktor kultural. Sebagai guru bahasa, mengajarkan ragam bahasa baku
kepada murid-murid adalah suatu keharusan. Sosiolinguistik pun tidak membantah
hal tersebut. Sebab, secara sosial, sekolah merupakan tempat dan situasi yang
harus memfungsikan ragam baku. Namun, pengajaran bahasa yang hanya berorientasi
pada aspek-aspek linguistik dan mengabaikan aspek-aspek nonlinguistik tidak
saja menyimpang dari tujuan kurikuler, tetapi sebenarnya juga memberi beban
yang hampir tidak mungkin dilaksanakan oleh guru. Dari sudut pandang
sosiolinguistik, orientasi di atas tidak dapat dibenarkan, sebab, pembinaan dan
pengembangan bahasa baku tidak dimaksudkan untuk tujuan demikian. Pembinaan
pengembangan bahasa baku harus disertai dengan penjelasan tentang fungsi ragam
itu dalam konteks sosialnya. Berdasarkan uraian tersebut, perlu diringkaskan
beberapa prinsip pendekatan sosiolinguistik dalam hubungannya dengan pengajaran
bahasa, di antaranya (1) sesuai dengan tugas sekolah, maka pembinaan bahasa
baku merupakan tugas utama sekolah, (2) murid-murid perlu diperkenalkan
ragam-ragam lain di luar ragam baku untuk memperluas cakrawala, (3) ragam-ragam
nonbaku ini tidak perlu diajarkan sebab mereka telah “belajar” dari lingkungan
masyarakatnya, (4) memberikan penjelasan dan pengertian tentang kapan, di mana,
dan dalam situasi yang bagaimana masing-masing ragam itu harus digunakan, (5)
pembinaan ragam baku harus dilakukan lewat dua jalur secara serentak yaitu
pembinaan aspek struktur gramatikal dan fungsionalnya, (6) pelatihan
“membiasakan” merupakan kunci keberhasilan belajar bahasa, dan (7) dalam
menangani proses belajar-mengajar bahasa guru perlu memanfaatkan pendekatan
sosiolinguistik (Suwito dalam Muhammad Saleh dan Mahmudah, 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar