Senin, 08 Juni 2015

sosiolinguistik dan pengajaran bahasa dan sastra

A.    Variabel Pembelajaran Bahasa
Dalam proses belajar-mengajar bahasa, akan kita dapati berturut-turut variabel yang meliputi (1) murid, yaitu objek yang akan dikenai proses belajar-mengajar dan yang diharapkan mempunyai sikap dan kemampuan yang lebih baik setelah proses itu selesai; (2) guru, sebagai subjek yang bertugas melaksanakan proses belajar-mengajar itu, baik sebagai fasilitator, informator, maupun pembimbing; (3) bahan pelajaran, yakni sesuatu yang harus disampaikan oleh guru dan murid dalam proses belajar-mengajar itu; dan (4) tujuan pengajaran, yakni sesuatu yang akan dicapai melalui proses belajar-mengajar itu. Keempat variabel ini mempunyai hubungan fungsional dalam proses belajar-mengajar dan turut menentukan keberhasilan belajar itu.
Di samping yang sudah disebutkan di atas, masih ada variabel lain seperti faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis yang merupakan variabel-variabel yang bersinggungang langsung dengan ilmu sosiolinguistik. Umpamanya, murid yang sehari-hari di rumah dan di lingkungan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan mempunyai kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran bahasa Indonesia daripada murid yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Demikian juga murid akan berhasil dalam belajar bahasa Indonesia apabila orang-orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia daripada tidak berbahasa Indonesia. B. Pengajaran Bahasa Kedua Dalam masyarakat multilingual, tentu akan ada pengajaran bahasa kedua, mungkin juga bahasa ketiga. Pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak terlalu berat bila bahasa kedua yang dipelajari adalah bahasa yang serumpun dengan bahasa pertama. Menurut anggapan umum, anak-anak lebih unggul dalam pembelajaran bahasa asing dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak lebih cepat “menangkap” dan memahami kata-kata asing daripada orang dewasa (Kridalaksana, 2009: 25). Pengajaran bahasa kedua di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan menengah (kira-kira 13 tahun) untuk bahasa asing. Menurut Pei (dalam Chaer & Agustina, 1995) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing. Dengan demikian, ketika anak Indonesia—yang bahasa pertamanya adalah bahasa daerah—mulai mempelajari bahasa Indonesia, mereka sudah terbiasa dengan pola-pola bahasa pertamanya. Sebagai kesimpulan, dalam mempelajari bahasa kedua perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan pola yang terdapat antara bahasa pertama, yang telah dikuasai dengan pola-pola bahasa yang dipelajari. Begitu juga latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan. C. Bilingualitas dan Bilingualisme Pada keadaan tertentu akan didapati orang-orang yang mampu berbicara lebih dari satu bahasa. Masyarakat bahasa tertentu yang bertemu dan hidup dengan masyarakat bahasa yang lain sangat mungkin saling menyesuaikan diri dengan bahasa tertentu. Bilingualitas adalah keadaan psikologis seseorang yang mampu menggunakan dua bahasa dalam komunikasi sosial. Sedangkan bilingualisme adalah suatu konsep yang mencakup konsep bilingualitas dan juga keadaan yang menggambarkan terjadinya kontak bahasa di antara sebuah masyarakat bahasa tertentu dengan masyarakat bahasa lainnya (Hammers dan Blanc dalam Kridalaksana, 2009). Bilingualitas seseorang dapat dilihat dari berbagai dimensi, sepeti kemampuan berbicara di dalam kedua bahasa, organisasi kognitifnya, atau status kedua bahasa baginya. Seseorang yang belajar bahasa pertama dan kedua dalam waktu yang hampir sama dan dalam konteks yang sama biasanya mempunyai representasi kognitif yang sama untuk kata tertentu dalam bahasa yang berbeda. Konsep-konsep mengenai bilingualitas di atas sangat berguna untuk memahami seseorang yang menguasai atau mengenal lebih dari dua bahasa. Indonesia adalah salah satu lahan subur untuk penelitian yang demikian karena di negeri ini, setidaknya, hampir semua orang mengenal bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sudah tentu, kebanyakan orang Indonesia adalah dwibahasawan. D. Pendekatan Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa Sosiolinguistik memandang bahwa penggunaan bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor struktural, tetapi juga oleh faktor-faktor sosial, faktor-faktor situasional, dan faktor-faktor kultural. Sebagai guru bahasa, mengajarkan ragam bahasa baku kepada murid-murid adalah suatu keharusan. Sosiolinguistik pun tidak membantah hal tersebut. Sebab, secara sosial, sekolah merupakan tempat dan situasi yang harus memfungsikan ragam baku. Namun, pengajaran bahasa yang hanya berorientasi pada aspek-aspek linguistik dan mengabaikan aspek-aspek nonlinguistik tidak saja menyimpang dari tujuan kurikuler, tetapi sebenarnya juga memberi beban yang hampir tidak mungkin dilaksanakan oleh guru. Dari sudut pandang sosiolinguistik, orientasi di atas tidak dapat dibenarkan, sebab, pembinaan dan pengembangan bahasa baku tidak dimaksudkan untuk tujuan demikian. Pembinaan pengembangan bahasa baku harus disertai dengan penjelasan tentang fungsi ragam itu dalam konteks sosialnya. Berdasarkan uraian tersebut, perlu diringkaskan beberapa prinsip pendekatan sosiolinguistik dalam hubungannya dengan pengajaran bahasa, di antaranya (1) sesuai dengan tugas sekolah, maka pembinaan bahasa baku merupakan tugas utama sekolah, (2) murid-murid perlu diperkenalkan ragam-ragam lain di luar ragam baku untuk memperluas cakrawala, (3) ragam-ragam nonbaku ini tidak perlu diajarkan sebab mereka telah “belajar” dari lingkungan masyarakatnya, (4) memberikan penjelasan dan pengertian tentang kapan, di mana, dan dalam situasi yang bagaimana masing-masing ragam itu harus digunakan, (5) pembinaan ragam baku harus dilakukan lewat dua jalur secara serentak yaitu pembinaan aspek struktur gramatikal dan fungsionalnya, (6) pelatihan “membiasakan” merupakan kunci keberhasilan belajar bahasa, dan (7) dalam menangani proses belajar-mengajar bahasa guru perlu memanfaatkan pendekatan sosiolinguistik (Suwito dalam Muhammad Saleh dan Mahmudah, 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar