Senin, 08 Juni 2015

Kontak Bahasa dan Akibatnya

Kontak Bahasa dan Akibatnya
Kontak bahasa berhubungan erat dengan terjalinnya kegiatan sosial dalam masyarakat yang menerima kedatangan anggota dari satu atau lebih masyarakat lain. Thomason (2001:157) mengatakan bahwa lingua franca menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Lebih jauh lagi, Thomason menyatakan bahwa tiga hal akibat percampuran bahasa memunculkan bahasa pidgin, kreol, dan bahasa bilingual campuran.
Pengertian Pidgin dan Kreol
Thomason (2001:159) menyatakan bahwa pidgin adalah bahasa yang muncul dalam kontak situasi baru yang melibatkan lebih dari dua kelompok kebahasaan. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki satupun bahasa yang diketahui secara luas di antara kelompok-kelompok yang saling kontak. Mereka berkomunikasi secara teratur untuk tujuan tertentu misalnya perdagangan. Dari beberapa kombinasi alasan ekonomi, sosial dan politik, mereka tidak mempelajari bahasa yang digunakan oleh masing-masing kelompok, melainkan hanya mengembangkan pidgin dengan kosakata yang secara khusus digambarkan (meskipun tidak selalu) dari salah satu bahasa yang mengalami kontak. Tata bahasa pidgin tidak berasal dari salah satu bahasa manapun, melainkan merupakan sejenis kompromi persilangan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang berkontak.
Pandangan-pandangan mengenai pidgin di atas membawa beberapa implikasi, yaitu pidgin tidak memiliki penutur asli dimana pidgin selalu digunakan sebagai bahasa kedua (atau ketiga, dan seterusnya) dan secara khusus digunakan untuk tujuan terbatas bagi komunikasi antarkelompok. Implikasi yang kedua, yaitu pidgin mempunyai bahan lebih sedikit atau materi linguistik dibandingkan bahasa nonpidgin–lebih sedikit kata, serta tata bahasa dan sumber gaya dalam sintak dan wacana yang terbatas. Contoh pidginisasi terjadi pada kontak bahasa pada bahasa Bali, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris dalam kawasan pariwisata di Bali.
Kreol berbeda dengan pidgin karena mempunyai penutur asli. Seperti pidgin, kreol berkembang dalam kontak situasi yang di dalamnya melibatkan lebih dari dua bahasa. Kreol secara khusus menggambarkan leksikonnya, namun tidak gramatikanya. Grammar kreol sama seperti pidgin yang berasal dari persilangan bahasa yang dikompromikan oleh kreator, seseorang yang mungkin atau tidak mungkin memasukkan penutur asli dari bahasa lexfier.
Thomason (2001:198) juga menyebutkan akibat lain dari kontak bahasa adalah bahasa bilingual campuran (bilingual mixed languages). Pengistilahan ini merujuk pada fakta bahwa bahasa tersebut diciptakan oleh dwibahasawan, hanya saja agak sedikit melenceng karena pada dasarnya tidak ada batasan berapa jumlah bahasa yang bisa digabungkan untuk membentuk bahasa bilingual campuran ini. Oleh sebab itu, tidak ada alasan mengapa multibahasawan tidak dapat membentuk sebuah bahasa campuran dengan menggambarkan pada tiga atau lebih bahasa yang mereka tuturkan, meskipun Thomason juga mengatakan bahwa dia tidak tahu satupun bahasa campuran yang stabil dimana semua komponennya tergambar lebih dari dua bahasa.
Chaer dan Agustina (2010: 84) berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah peristiwa bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahasa.
1.      Bilingualisme
Spolsky menyebutkan bahwa bilingualisme ialah ketika seseorang telah menguasai bahasa pertama dan bahasa keduanya. Dengan kata lain, bilingualisme merupakan penguasaan seseorang terhadap dua  bahasa atau lebih (bukan bahasa ibu) dengan sama baiknya. Bilingualisme terjadi pada penutur yang telah menguasai B1 (bahasa pertama) kemudian ia juga mampu berkomunikasi dengan B2 (bahasa kedua) secara bergantian dengan baik.
2.   Diglosia
Ferguson (melalui Chaer dan Agustina, 2010:92) menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Misalnya, bahasa Jawa yang di dalamnya terdapat bahasa Jawa ngoko, madya, dan kromo.
3.   Alih kode
Alih kode merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, baik pada tataran antarbahasa, antarvarian (baik regional atau sosial), antarregister, antarragam, dan antargaya. Secara umum alih kode adalah pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih,beberapa variasi dari satu bahasa, atau beberapa gaya dari satu ragam bahasa. Contoh alih kode ketika penutur A dan B sedang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa sunda kemudian datang C yang tidak mengerti bahasa sunda maka A dan B beralih kode dalam bahasa Indonesia yang juga dimengerti oleh C.
4.      Campur kode
Thelender (melalui Chaer dan Agustina, 2010:115) mencoba menjelaskan mengenai alih kode dan campur kode. Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode bukan alih kode.
5.      Interferensi
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul menjadi mBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukul menjadi kepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendiri menjadi toko laris adalah toko yang paling mahal di sini.
6.      Integrasi
Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman dari bahasa asing yang dipakai dan dianggap bukan unsur pinjaman, biasanya unsur pinjaman diterima dan dipakai masyarakat setelah terjadi penyesuaian tata bunyi atau tata kata dan melalui proses yang cukup lama. Contoh police dari bahasa Inggris yang telah diintegrasikan oleh masyarakat Malaysia menjadi polis, kata research juga telah diintegrasikan menjadi riset.
7.      Konvergensi
Secara singkat Chaer dan Agustina (2010: 130) menyatakan bahwa ketika sebuah kata sudah ada pada tingkat integrasi, artinya kata serapan itu sudah disetujui dan converged into the new language. Karena itu proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim disebut dengan konvergensi. Misalnya, Klonyo berasal dari eau de cologne, sirsak berasal dari zuursak, sopir berasal dari chauffeur, dan lain sebagainya.
8.      Pergesesan bahasa.
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer dan Agustina, 2010:142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ketempat lain yang menggunakan bahasa lain dan bercampur dengan mereka maka akan terjadi pergeseran bahasa.
Referensi:
Abdul Chaer dan Agustina, Leonie. (2010). Sosiolinguistik perkenalan awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Sarah G.Thomason. (2001). Language contact. Edinburg: Edinburg University Press Ltd.

Hubungan Bahasa dan Faktor Sosial

Hubungan Bahasa dan Faktor Sosial

Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Perbedaan bahasa-bahasa tersebut diakibatkan oleh adanya faktor-faktor sosial, yang meliputi: kelas sosial, konteks sosial, jenis kelamin, usia, seni dan religi, budaya atau geografi, dan pranata sosial. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas, mengenai faktor-faktor sosial tersebut.
1.      Hubungan bahasa dengan kelas sosial
Kelas sosial (sosial class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang  kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas “pegawai negeri”. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”. Namun sebaliknya, jika ia adalah seorang pemulung atau tidak bekerja maka ia masuk dalam kelas “tidak berpendidikan”.
2.      Hubungan bahasa dengan konteks sosial
Perkembangan bahasa yang selaras dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot. Manusia tanpa komunikasi akan terasa hampa. Bagaimana manusia berkomunikasi dan bersosialisasi datu sama lain jika tidak ada bahasa.
3.      Hubungan bahasa dengan jenis kelamin
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Secara khusus, pertanyaan yang telah menjamur sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita menggunakan bahasa standar lebih sering dibanding pria. Di dalam menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menentukan bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia dalam sebuah masyarakat.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa wanita sadar di dalam masyarakat status mereka lebih rendah dari pada laki-laki, mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar dari pada laki-laki yang menghubungkan cara masyarakat memperlakukan wanita. Kesenjangan antara pria dan wanita memang terlihat sangat jelas. Dari segi fisik, wanita terlihat lebih gemuk namun tidak berotot dan wanita lebih lemah dibanding dengan pria. Begitu juga dengan suara, wanita mempunyai suara yang berbeda dengan pria. Di samping itu, faktor sosiokultural juga mempengaruhi perbedaan diantara keduanya dalam berbahasa atau berbicara. Misalnya, di dalam bidang pekerjaan, wanita memiliki peran yang berbeda dalam suatu masyarakat.
4.      Hubungan bahasa dengan usia
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya study pragmatik dalam lingustik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Salah satunya adalah bahasa berpengaruh pada tingkat usia. Yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa pada orang yang lebih tua, dengan sesama/sebaya, atau bahkan dengan anak-anak.
5.      Hubungan bahasa dengan seni dan religi
Bahasa, seni dan religi adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal. Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian urutan ke ketujuh. Menurut Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena manusia sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok sosial.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari segala kebudayaan. Atas dasar itu, hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga diperoleh dengan memahami hubungan bahasa dengan kebudayaan.
6.      Hubungan bahasa dengan budaya/geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Begitu pula sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam,dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
7.      Hubungan bahasa dengan pranata sosial
Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan. Menurut Horton dan Hunt, yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat.
Menurut Koenjaraningrat yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan mereka.
Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
Pranata sosial terdapat dalam setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun masyarakat kompleks atau masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan tuntutan mutlak adanya suatu masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana manusia tinggal bersama membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin kompleks kehidupan masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan atau yang dihasilkan guna pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama. Pranata berjalan seiring dengan semakin majunya masyarakat.

Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan manusia. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancer sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu sendiri.

HUBUNGAN ANTARA SOSIOLINGUISTIK DENGAN ILMU LAIN

HUBUNGAN ANTARA SOSIOLINGUISTIK DENGAN ILMU LAIN
            Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa, masyarakat, dan hubungan bahasa dengan masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika dilihat hubungan sosiolinguistik dengan ilmu lain yang terkait, seperti hubungan sosiolinguistik dengan ilmu sosiologi, pragmatik, antropologi, dan lain sebagainya.
a.         Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia sebagai individu ataupun sebagai kelompok masyarakat. Menurut Nababan (1991: 2) yang dikutip oleh Aslinda dan Syafyahya (2010: 12) mengemukakan bahwa sosiolinguistik digunakan untuk membahas aspek-aspek kemasyarakatan, khususnya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau sosial. Dengan demikian, hubungan antara sosiolinguistik dengan sosiologi sangatlah erat.
b.        Sosiolinguistik dengan Pragmatik
Sosiolinguistik mengkaji variasi bahasa dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perilaku masyarakat atau variasi bahasa dalam hubungannya dengan konteks sosial masyarakat yang mendukungnya (Fishman, 1972: 4; dalam Chaer dan Agustin, 1995: 5). Berbicara mengenai konteks berkaitan erat dengan ilmu pragmatik. Konteks adalah unsur di luar bahasa dikaji dalam pragmatik.
Pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan pada ujaran, dan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi Kridalaksana (1993: 176; dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010: 13). Untuk mengkaji pragmatik di dalam bahasa tertentu, diperlukan memahami sebuah konteks yang merupakan aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang saling berkaitan dengan ujaran tertentu. Lingkungan sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa di antaranya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, dan jenis kelamin.
Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat hubungan sosiolinguistik dengan pragmatik. Bahasa apa yang digunakan oleh masyarakat sehingga komunikasi menjadi lancar, hal itu merupakan kajian sosiolinguistik. Sedangaka pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pembicara dan mitrawicara sehingga komunikasi menjadi serasi, hal itu merupakan kajian pragmatik.
c.         Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi mempelajari manusia dan kebudayaan, serta sistem kemasyarakatan. Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan tersebut bisa mencakup hal-hal, seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi, teknologi, dan bahasa (Sumarsono dan Paina, 2003: 13).

Dari pengertian itu, dapat dilihat hubungan sosiolinguistik dengan antropologi. Antropologi mengkaji masyarakat dari sudut kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Artinya, dengan bahasa masyarakat dapat mempelajari kebudayaan. Bagi antropologi, bahasa sering kali dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri sekelompok orang berdasarkan etnik (Sumarsono dan Paina, 2003: 13). Masyarakat dapat diklasifikasikan berdasarkan etniknya. Setiap etnik akan berkomunikasi dengan etnik lain. Bahasa apa yang akan digunakan oleh setiap etnik jika berkomunikasi dengan etnik lain itu merupakan kajian sosiolinguistik.

ragam bahasa

PEMBAHASAN
1.         Pengertian RagamBahasa Indonesia
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik , yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku. 
2.      Macam – macam ragam bahasa
a.      Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media
Didalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang sering disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baku bahasa Indonesia, memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolak ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi didalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
3.      Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
a.    Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah (logat/diolek)
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b” pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dan lain-lain. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan “t” seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.
b.      Ragam Bahasa berdasarkan Pendidikan Penutur                                          
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai
c.       Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Baku Bahasa Indonesia  Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sabariyanto, Dirgo.1999. Kebakuan dan Ketidakbakuan Kalimat dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.

SEJARAH DAN LINGKUP KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

SEJARAH DAN LINGKUP KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

Ilmu sosiolinguistik, mulanya muncul sebagai rasa ketidakpuasan para pakar pada linguistik struktural. Menurut mereka, linguistik struktural melakukan kajian bahasa dalam aspek struktur semata. Hal itu tentu tidak mengacuhkan aspek sosial dalam analisa.
Adapun rancangan sosiolinguistik ini muncul ketika adanya sebuah penelitian berupa laporan oleh Labov. Judul dari penelitian tersebut adalah Social Stratification of English in New York City. Seorang pengemuka linguistik dari aliran London, Firth mengemukakan bahwa tuturan memiliki aspek tuturan selaku media atau alat komunikasi. Ia juga menambahkan, aspek-aspek tersebut bisa mengelompokkan seseorang ke dalam suatu kaum, kelas atau setrata sosial. Dengan demikian, ilmu tentang tuturan ini, sedah seharusnya mengindahkan para penutur dan setruktur itu sendiri, sehingga pertimbangan mengenai segala hal yang merupakan kemungkinan mengapa struktur yang ini atau yang itu dipakai oleh seseorang.
Hymes berpendapat bahwa istilah dari sosiolinguistik ini telah diperkenalkan sekitar tahun 1960. Pada tahun itu memiliki sebuah tanda, yakni lahirnya buku karya Hymes, Laguage in Culture  and Society, tahun 1966. Kemudian Fishman meluncurka suatu kumpulan tulisan dengan judul Reasing in The Sociology of Language pada tahun 1968. Masih pada tahun yang sama, Fishman berkolaborasi dengan Das Gupta dan Ferguson untuk menyajikan dan mengekspos sebuah kumpulan dari makalah. Kumpulan tulisan itu berjudul Language Problems of Developing Nations.
Sosiolinguistik tergolong dalam disiplin ilmu yang baru muncul pada tahun 1960 (pateda, 1990: 2) sosiolinguistik lahir karena para ahli bahasa ingin menempatkan bahasa sesuai dengan fungsinya yang utama yaitu sebagai alat komunikasi.
Dalam buku Pengantar Sosiolinguistik (Aslinda dan Syafyahya, 2010: 3-11) menjelaskan bahwa linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bidang kajian linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa atau hubungan bahasa dengan struktur bahasa itu sendiri dari struktur eksternal atau hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor di luar bahasa.
Ruang lingkup kajian sosiolinguistik meliputi komunikasi dan masyarakat bahasa, variasi bahasa, bilingualisme dan diglosia, interferensi dan integrasi bahasa, dialek, sikap bahasa, serta perencanaan bahasa. Dengan demikian, sosiolinguistik dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Mikro sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil, misalnya sistem tegur sapa. Sosilinguistik mikro mengacu pada kajian mengenai gejala bahasa dalam konteks sosial yang ditandai oleh faktor-faktor makro yang tidak dapat tereduksi lagi. Tiga prinsip utama yang terdapat dalam hubungan interaksi antar individu dalam kelompok adalah sebagai berikut: (1) pencapaian interaksi dalam komunikasi; (2) akuisisi dan modifikasi kecakapan komunikatif; dan (3) sikap bahasa.


b.      Makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur sosial. Sosiolinguistik makro mengacu pada kajian mengenai fenomena sosiolinguistik yang mencakup variabel yang lebih besar, baik dalam jumlah populasi, wilayah penyebaran bahasa, maupun kontinuitas bahasa dari waktu ke waktu. Ada tiga utama yang patut diperhatikan dalam sosiolinguistik makro: (1) kontak bahasa; (2) konflik bahasa; (3) perubahan bahasa dan perubahan sosial.

Ilmu sosiolinguistik, mulanya muncul sebagai rasa ketidakpuasan para pakar pada linguistik struktural. Menurut mereka, linguistik struktural melakukan kajian bahasa dalam aspek struktur semata. Hal itu tentu tidak mengacuhkan aspek sosial dalam analisa.
Adapun rancangan sosiolinguistik ini muncul ketika adanya sebuah penelitian berupa laporan oleh Labov. Judul dari penelitian tersebut adalah Social Stratification of English in New York City. Seorang pengemuka linguistik dari aliran London, Firth mengemukakan bahwa tuturan memiliki aspek tuturan selaku media atau alat komunikasi. Ia juga menambahkan, aspek-aspek tersebut bisa mengelompokkan seseorang ke dalam suatu kaum, kelas atau setrata sosial. Dengan demikian, ilmu tentang tuturan ini, sedah seharusnya mengindahkan para penutur dan setruktur itu sendiri, sehingga pertimbangan mengenai segala hal yang merupakan kemungkinan mengapa struktur yang ini atau yang itu dipakai oleh seseorang.
Hymes berpendapat bahwa istilah dari sosiolinguistik ini telah diperkenalkan sekitar tahun 1960. Pada tahun itu memiliki sebuah tanda, yakni lahirnya buku karya Hymes, Laguage in Culture  and Society, tahun 1966. Kemudian Fishman meluncurka suatu kumpulan tulisan dengan judul Reasing in The Sociology of Language pada tahun 1968. Masih pada tahun yang sama, Fishman berkolaborasi dengan Das Gupta dan Ferguson untuk menyajikan dan mengekspos sebuah kumpulan dari makalah. Kumpulan tulisan itu berjudul Language Problems of Developing Nations.
Sosiolinguistik tergolong dalam disiplin ilmu yang baru muncul pada tahun 1960 (pateda, 1990: 2) sosiolinguistik lahir karena para ahli bahasa ingin menempatkan bahasa sesuai dengan fungsinya yang utama yaitu sebagai alat komunikasi.
Dalam buku Pengantar Sosiolinguistik (Aslinda dan Syafyahya, 2010: 3-11) menjelaskan bahwa linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bidang kajian linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa atau hubungan bahasa dengan struktur bahasa itu sendiri dari struktur eksternal atau hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor di luar bahasa.
Ruang lingkup kajian sosiolinguistik meliputi komunikasi dan masyarakat bahasa, variasi bahasa, bilingualisme dan diglosia, interferensi dan integrasi bahasa, dialek, sikap bahasa, serta perencanaan bahasa. Dengan demikian, sosiolinguistik dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Mikro sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil, misalnya sistem tegur sapa. Sosilinguistik mikro mengacu pada kajian mengenai gejala bahasa dalam konteks sosial yang ditandai oleh faktor-faktor makro yang tidak dapat tereduksi lagi. Tiga prinsip utama yang terdapat dalam hubungan interaksi antar individu dalam kelompok adalah sebagai berikut: (1) pencapaian interaksi dalam komunikasi; (2) akuisisi dan modifikasi kecakapan komunikatif; dan (3) sikap bahasa.


b.      Makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur sosial. Sosiolinguistik makro mengacu pada kajian mengenai fenomena sosiolinguistik yang mencakup variabel yang lebih besar, baik dalam jumlah populasi, wilayah penyebaran bahasa, maupun kontinuitas bahasa dari waktu ke waktu. Ada tiga utama yang patut diperhatikan dalam sosiolinguistik makro: (1) kontak bahasa; (2) konflik bahasa; (3) perubahan bahasa dan perubahan sosial.