Senin, 08 Juni 2015

variasi bahasa

BAB II
PEMBAHASAN
1.1  Hakikat Variasi Bahasa
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan. Kemudian dengan mengutip pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan  fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.
Sebagai  sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata Inggris Variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan untuk penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahsa Inggris yang digunakan  hampir di seluruh dunia; bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thariq di Afrika Utara sampai ke perbatasan Iran (dan juga sebagai bahasa agama Islam dikenal hampir di seluruh dunia); dan bahasa Indonesia yang wilayahnya penyebarannya dari Sabang sampai Merauke.
   Dalam hal variasi  atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya  keragaman sosial dan keragamn fungsi bahasa. Andaikan penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaan, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan  fungsi kegiatan didalam masyarakat sosial.
   Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan didalam masyarakat sosial. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian (register). Berikut ini akan dibicarakan variasi-variasi bahasa tersebut, dimulai dari segi penutur ataupun dari segi penggunanya.
2.1.1 Variasi dari Segi Penutur      
               pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah penutur bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasannya ayau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suatu bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada melalui karya tulisnya. Namun kalau kita sering membaca karya Hamka, Alisjahbana, atau Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak bila kita menemui selembar karya mereka, meskipun tidak dicantumkan nama mereka, maka kita dapat mengenali lembaran itu karya siapa. Kalau setiap orang memiliki idioleknya masing-masing, maka apakah berarti idiolek itu menjadi banyak? Ya, memang demikian, bila ada 1000 orang penutur, misalnya, maka akan ada 1000 idiolek dengan cirinya masing-masing yang meskipun sangat kecil atau sedikit cirinya itu, tepai masih menunjukkan idioleknya. Dua orang kembarpun, warna suaranya, yang menandai idioleknya, masih dapat diperbedakan.
Kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional, atau dialek geografi (tetapi dalam hal ini kita sebut dialek saja).
Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai dialeknya juga. Misalnya, bahsa Jawa dialek Banyumas memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri yang dimiliki bahsa Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang atau juga dialek Surabaya.
Ketiga berdasarkan penutur adalah  yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi  bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa pada ketiga zaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis. Yang paling tampak biasanya dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahansosial budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kalau Anda membaca buku yang diterbitkan  dari tiga zaman yang berbeda, Anda akan melihat perbedaan itu. Dalam bahasa Inggris, kita bisa melihat bedanya variasi bahasa Inggris zaman sebelun Shakespeare, zaman Shakespeare, dan zaman sekarang (lebih jauh).
     Keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya. Berdasarkan usia, kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang-orang yang tergolong lansia (lanjut usia). Cobalah Anda perhatikan bahasa yang digunakan para kelompok umur itu, niscaya Anda akan dapat melihat perbedaan. Perbedaan variasi bahasa disini bukanlah yang berkenan dengan isinya, isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan juga kosakata. Berdasarkan pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi sosial ini. Para penutur yang beruntung memperoleh pendidikan tinggi,akan berbeda variasi bahasanya  dengan mereka yang hanya  berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak berpendiidkan sama sekali. Perbedaan ini yang paling jelas  adalah dalam bidang kosakata, pelafalan, dan juga morfologi, dan sintaksis.  Di Jakarta ada harian Kompas dan harian Pos Kota, dua harian yang paling populer. Namun, Anda bisa melihat dari kelompok mana saja pembaca yang kedua harian itu. Harian Kompas tampaknya lebih banyak dibaca oleh golongan terpelajar, sedangkan harian Pos Kota lebih banyak bibaca golongan buruh dan kurang terpelajar. Berdasarkan seks (jenis kelamin) penutur dapat pila disaksikan adanya dua jenis variasi bahasa. Cobalah Anda dengarkan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasisiwi dan ibu-ibu. Lalu,, bandingkan dengan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dan bapak-bapak. Anda pasti akan menandai perbedaan variasi keduanya. Dalam hal ini dapat juga dicatat adanya variasi bahasa yang digunakan oleh para wanita dan kaum gay, dua kelompok manusia yang mempunyai penyimpangan seks, seperti yang dilaporkan Dede Oetomo (lihat Muhadjir dan Basuki Suhardi 1990).           
Sehubung dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan yang disebut bahasa prokem.
·         Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalang yang disebut bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
·         Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap dipandang rendah. Bahasa Inggris yang digunakan oleh cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu juga bahasa Jawa “krama ndesa”.
·         Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Pada zaman Romawi sampai zaman pertengahan bahasa-bahasa di Eropa dianggap sebagai bahasa vulga, sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan bahasa latin dalam segala kegiatan mereka.
·         Slang adalah  variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah.  Slang memang lebih merupakan bidang kosakata dari pada bidang fonologi  maupun gramatika. Slang bersifat temporal; dan lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula yang menggunkaannya.  Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasia, maka timbul kesan bahwa slang ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng dan pejabat; padahal sebenarnya tidaklah demikian. Faktor rahasiaan ini  menyebabkan pula kosakata yang digunakan dalam slang seringkali berubah. Dalam hal ini yang disebut bahasa prokem (Raharjo dan Chamber Loir 1988; juga Kawira 1990) dapat dikategori sebagai Slang.
·         Kolokial adalah  variasi sosial yang digunakan dalam cakapan sehari-hari. Kata kolokial berasal dan kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Juga tidak tepat kalau kolokial ini disebut bersifat “kampungan” atau bahasa kelas golongan bawah, sebab yang penting adalah konteks dalam pemakaiannya. Dalam bahasa Inggris lisan ungkapan-ungkapan seperti don’t, i’d, well, pretty (very), funny (peculiar), dan take stock in (believe) adalah dari variasi kolokial. Berikut contoh lain ungkapan kolokial dalam bahasa Inggris dengan padanan formalnya.
            Join up             - enlist
            Give up           - reliquil
            Put up with     - tolerate
            Full up             - filled to capacity
            Know-how      - technical skill
            The law           - a poloceman
            Outside of       - except
            A natural         - one how natural  expert
Dalam perkembangana kemudian ungkap-ungkapan kolokial ini sering juga digunakan dalam bahasa tulisan.
Dalam bahasa Indonesia merupakan banyak digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya. Dalam pembicaraan atau tulisan formal ungkapan-ungkapan seperti contoh di atasa harus dihindarkan.
·         Jargon adalah  variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat diluar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Umpamanya, dalam kelompok montir atau perbengkelan ada ungkapan-ungkapan seperti roda gila, didongkar, dices, dibalans, dan dipoles. Dalam kelompok tukang batu dan bangunan ada ungkapan, seperti disipat, diekspos, disiku, dan ditimbang.
·         Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata. Umpamanya, dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata, dan arti ‘polisi, daun dalam artu ‘uang’, gemuk dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘ mangsa yang empuk’.
·         Ken (Inggris=cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seprti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis).
2.1.2 Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaannya, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini  yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.  Setiap bidang kegiatan ini biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis. Variasi atau ragam bahasa ssatra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunakanlah kosakata yang secara estetis memiliki ciri  eufoni normatif seringkali dikorbankan dan dihindarkan untuk mencapai efek keeufonian dan kedaya ungkapan yang tepat atau paling tepat. Begitu juga kalau dalam bahasa umum orang mengungkapkan sesuatu secara lugas dan polos, tetapi dalam ragam bahasa sastra akan diungkapkan secara estetis. Dalam bahas umum orang, misalnya, akn mengatakan, “Saya sudah tua”, tetapi dalam bahasa sastra Ali Hasjmi, seorang penyair Indonesia,mengatakan dalam bentuk puisi.
            Pagiku hilang sudah melayang
            Hari mudaku sudah pergi
            Sekarang petang datang membayang
            Batang usiaku sudah tinggi
Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yalni bersikap sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena njurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu  (dalam media elektronika). Dalam bahas Indonesia ragam jurnalistik ini dikenal dengan sering ditinggalkannya awal me- atau awalan ber- yang di dalam ragam bahasa  baku harus digunakan.  Umpamanya kalimat, “ Gubernur tinjau daerah banjir” (dalam bahasa  baku berbunyi, “Gubernur meninjau daerah banjir”). Contoh lain, “ Anaknya sekolah di Bandung” (dalam bahasa ragam baku adalah “ Anaknya bersekolah di Bandung”).
Ragam bahasa Militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam militer di Indonesia dikenal dengan cirinya yang memerlukan keringkasan dan ketegasan yang dipenuhi dengan berbagai singkatan dan akroni. Bagi orang di luar kalangan militer, singkatan, dan akronim itu sendiri tidak menjadi persoalan.
Ragam bahasa ilmiah yang  juga dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari keambiguan,serta segala macam, metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, tanpa keraguan akan makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang berbeda. Oleh karena itulah juga, bahasa ilmiah tidak menggunakan segala macam metafora dan idiom.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek berkenaan dengan masalah  bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Dalam kehidupannya mungkin saja seseorang hanya hidup dengan satu dialek, misalnya, seorang penduduk di desa terpencil di lereng  gunung atau di tepi hutan. Tetapi, dia pasti tidak hidup hanya dengan satu register, sebab dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih dari satu. Dalam kehidupan modernpun ada kemungkinan adanya seseorang yang hanya mengenal satu dialek, namun, pada umumnya dalam masyarakat modern orang hidup dengan lebih dari satu dialek (regional maupun sosial) dan menggeluti sejumlah register, sebab dalam masyarakat modern orang sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.
2.1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya  The Five Clock membagi variasi bahasa atas  lima macam gaya (Inggris: Style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Dalam pembicaraan selanjutnya kita sebut saja ragam.
·         Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang dugunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam beku ini kita dapati dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti undang-undang dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian jual beli, atau sewa-menyewa. Perhatikan contoh berikut yang diangkat dari naskah Pembukuan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa swsungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka penjajahan diatas dunia  harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat-kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, hatta, dan sesungguhnya menandai ragam beku dari variasi bahasa tersebut.  Susunan kalimat dalam ragam beku biasanya panjang-panjang, bersifat kaku; kata-katanya lengkap. Dengan demikian para penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan perhatian yang penuh.
·         Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standart. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Jadi, percakapan antar teman yang sudah karib atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini. Tetapi pembicaraan dalam peminangan, pembicaraan dengan seseorang dekan di kantprnya, atau diskusi dalam ruang kuliah adalah menggunakan ragam resmi.
·         Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa  yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam usaha ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.
·         Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu  beristirahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini banyak menggunkan bentuk alergo, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga dengan struktur morfologi dan sintaksisnya. Seringkali struktur morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan.
·         Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau antar teman yang sudah karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama. Perhatikan ketiga kalimat contoh berikut!
(a)      Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang saudara sukai
(b)      Ambilah yang kamu suka!
(c)      Kalau mau ambil aja!
Tingkat keformalan kalimat (a) lebih tinggi daripada kalimat (b); dan kalimat (b) lebih tinggi daripada kaliamat (C).  Kalimat (a) termasuk  ragam usaha, sebab kurang lebih untuk kalimat seperti itulah yang biasa kita gunkana. Kalimat (b) termasuk ragam santai; sedangkan kalimat (C) termasuk dalam ragam akrab, sebab hanya kepada teman kariblah bentuk ujaran seperti itu yang kita gunakan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari kalimat ragam diatas, yang dilihat dari tingkat keformalan penggunaannya, mungkin secara bergantian kita gunkan. Kalau kita berurusan dengan masalah dokumen jual beli, sewa menyewa., atau pembuatan akte di kantor notaris, maka kita terlibat dengan ragam resmi.
2.1.4 Variasi dari Segi Sarana   
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunkana. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam trulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanaya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara  lisan, kita dintau oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal didalam ragam bahasa tulis hal-hal yang disebutkan itu tidak ada, lalu, sebagai gantinya harus diekspresikan secara verbal. Umpamanya kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada di hadapan kita, maka secara lisan sambil menjuk atau mengarahkan pandangan pada kursi itu kita cukup mengatakan, “tolong pindahkan ini!”. Tetapi dalam bahasa tulis karena tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu, maka kita harus mengatakan, “Tolong pindahkan kursi itu!”. Jadi, dengan secara eksplisit menyebut kata kursi itu.
Dari contoh tersebut  dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik. Kesalahann atau kesalahan pengertian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiaki atau diralat, tetapi dalam berbahasa tulis kesalahan atau kesalah pengertian baru kemusian bisa diperbaiaki.
Ragam bahasa  bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa lisan dan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa dalam bertelegraf sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa tulis; tetapi kedua macam sarana komunuikasi itu mempunyai ciri-ciri dan keterbatasannya sendiri-sendiri, menyebabkan kita tidak dapat menggunakan ragam lisan dan ragam tulis semua kitra. Ragam bahasa dalam bertelepon dan bertelegraf menuntut persyaratan tertentu, sehingga menyebabkan dikenal adanya ragam bahasa telepon dan ragam bahasa telegraf, yang berbeda dengan ragam-ragam bahasa lainnya.
1.2  Jenis Variasi Bahasa
Dalam pembicaraan mengenai variasi bahasa kita berbicara tentang satu bahasa kita berbicara tentang penggunaannya secara konkret. Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa itu kita berkenalan dengan idiolek, dialek, sosiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan register. Pembicaraan tentang  variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa yang juga dilihat hanya berurusan dengan suatu bahasa, serta variasinya, juga berurusan dengan sejumlah bahasa, baik yang diliki repertoir satu masyarakat tutur maupun yang dimiliki dan digunakan oleh sejumlah masyarakat tutur.
2.2.1 Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis, artinya, penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan secara sosiologis ini penting untuk menentukan suatu sistem linguistik tertentu, apakah bisa disetujui atau tidak oleh anggota masyarakat tutur untuk menggunakannya dalam fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan, dan sebagainya.
Stewart (dalam Fishman (ed.) 1968) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonomi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas. Keempat faktor itu oleh Fishman (1972: 18) disebut sebagai jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa. Secara singkat keempat dasar itu dijelaskan sebagai berikut
·  Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kondifikasi dan penenerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar” (bandingkan Fishman (ed.) 1968:534). Jadi standardisasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah dikodifikasi atau tidak yang diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua.
·  otonomi atau keotonomian. Sebuah sitem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968:535). Jadi, kalau ada dua sistem linguistik atau lebih tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki sistem masing-masing. Umpamanya, bahasa Inggris dan bahasa Jawa keduanya mempunyai keotonomian sendiri-sendiri. Kalau dua sistem linguistik memiliki hubungan kesejarahan tetapi keduanya memiliki sejumlah perbedaan struktur, maka dalam hal ini keotonomiannya masih tampak. Misalnya, bahasa Indonesia (di Indonesia) dan bahasa Malaysia (di Malaysia) mempunyai hubungan kesejarahan, yaitu sama-sama berasal dari bahasa Melayu, namun keduanya memiliki keotonomian masing-masing. Mengapa? Karena perbedaan-perbedaan struktur yang terdapat diantara keduanya sangat jelas. Keduanya memiliki kodifikasi masing-masing, dan tradisi kesastraan masing-masing, yang menandai keduanya juga memiliki pembakuan masing-masing. Bahasa-bahasa yang telah mengalami usaha-usaha pembakuan adalah bahasa yang otonom. Perlu ditekankan bahwa keotonomian sebuah bahasa bukan datang sendiri, melainkan harus diusahakan, lebih-lebih untuk ragam baku bahasa tulis (Fishman 1970:208).
·  historisitas atau kesejarahan. Sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman 1968:535). Faktor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu. Jadi, faktor historisitas ini mempersoalkan, apakah sistem linguistik ini tumbuh melalui sitem pemakaian oleh kelompok etnik atau soisal tertentu atau tidak. Para penutur suatu sistem linguistik yang memiliki unsur kesejarahan mempunyai kemungkinan untuk menguasai bahasa kedua (lebih lanjut disebut B2), yaitu bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan. Bahsa Jawa dan Sunda jelas ada unsur kesejarahannya dan jelas ada kelompok etnik yang mendukungnya. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahwa bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan dapat kita lihat dari kebijakan yang ada dalam pedoman pembentukan istilah (lihat Moeliono (peny.)1988). Dalam pedoman itu disebutkan bahwa untuk menciptakan istilah baru pertama-tama kita harus mencari kosakata dari bahasa Indonesia yang ada sekarang; kalau tidak ada harus dicari dari kosakata bahasa Indonesia yang sudah lama, yang sudah tidak dipakai.
·  vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh suatu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak. Bahasa Jawa dan Bahasa Bali dewasa ini jelas masih ada penutur aslinya. Tetapi bahasa Latin dan bahasa Sansekerta dewasa ini tidak ada penutur aslinya lagi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa Jawa dan bahasa Bali masih memiliki vitalitas, sedangkan bahasa Latin dan bahasa Sansekerta tidak memiliki vitalitas lagi. Sebuah bahasa bisa saja kehilangan vitalitas kalau para penutur aslinya telah musnah atau telah meninggalkannya (lihat Bell 1976:148, juga Ayatrohaedi dalam Muhadjir dan Basuki 1990:262-270). Namun bisa juga sebuah bahasa yang sudah kehilangan vitalitasnya menjadi mempunyai vitalitas lagi kalau ada kesadaran dan usaha dari para “ahli waris” untuk menggunakannya kembali. Misalnya bahasa Ibrani di Israel.
Kemudian berdasarkan ada (+) atau tidaknya (-) unsur-unsur tersebut (standardisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas) Stewart membedakan adanya tujuh jenis atau tipe bahasa, seperti tampak dalam bagan berikut.
Dasar Penjenisan
Jenis Bahasa
Contoh
Standardisasi
Otonomi
Historisitas
Vitalitas
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
-
-
-
+
+
-
+
+
-
-
+
-
-
+
+
+
-
standar
klasik
artifisial
vernakuler
dialek
kreol
pijin
Inggris
Latin
Vo lapuk
beberapa bahasa daerah di Indonesia
beberapa dialek bahasa Jawa
*
*
* lihat penjelasan di bawah
Bahasa yang berjenis standar seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia memiliki empat dasar penjenisan (klasifikasi). Bahasa yang berjenis klasik seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta hanya memliki tiga dasar penjenisan, yaitu standardisasi, otonomi, dan historisitas; dan tidak mempunyai vitalitas, karena tidak ada penuturnya lagi. Bahasa artifisial adalah bahasa buatan, seperti bahasa Volapuk dan bahasa Esperanto. Bahasa seperti ini memiliki ciri standardisasi dan otonomi, tetapi tidak meiliki ciri historisitas dan vitalitas. Sedikit tambahan, yang dimaksud bahasa artifisial ini adalah bahasa yang dibuat, disusun dengan maksud untuk dijadikan bahasa pengantar (linggua franca) internasional. Jadi, bukan bahasa alamiyah. Menurut catatan sejarah, ada tiga buah bahasa artifisal, yaitu bahasa Volapuk, bahasa Esperanto, dan bahasa Interligua. Yang pertama, bahasa Volapuk, disusun oleh Johan Martin Schleyer, seorang berkebangsaan Jerman, pada tahun 1879. Kosakatanya diambil dari bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan bahasa Roman. Pada mulanya kehadiran bahasa ini disambut gembira oleh masyarakat Eropa. Namun, karena sistemnya dirasakan terlalu sukar maka kemudian orang enggan mempelajarinya, dan lalu meniggalkannya.
2.2.1  Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada sebuah sitem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem linguistik yang berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu sistem linguistik yang sama; sedangkan di India, di Filipina, dan Singapura tidak.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, seringkali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, adalah bahasa nasional bagi bangsa Indonesia; bahasa Pilipino adalah bahasa nasional bagi bangsa Filipina; bahasa Malaysia adalah bahasa nasional bagi bangsa Malaysia; dan bahasa melayu adalah bahasa nasional bagi bangsa Singapura. Jadi, bangsa Indonesia dikenal sebagai suatu bangsa adalah, antara lain, karena bahasa Indonesianya; bangsa Filipino dikenal sebagai suatu bangsa karena bahasa Pilipinonya. Pengangkatan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa adalah berkat sikap dan pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebagai sebuah bangsa (dengan negaranya yang berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya. Pengangkatan sebuah sistem linguistik, yang ada pada masyarakat multilingual, menjadi sebuah bahasa nasional, bisa berjalan dengan mulus, dalam arti, tidak ada keberatan dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal itu karena bahasa melayu yang diangkat menjadi bahasa nasional itu, telah berabad-abad lamanya menjadi lingua franca diseluruh wilayah Nusantara. Tetapi pengankatan bahasa Tagalog menjadi bahasa nasional Filipina kurang mulus prosesnya, Karena bahasa tagalong itu bukan lingua franca diseluruh wialayah Filipina (lingua francanya adalah bahasa Inggris). Oleh karena itulah, kemudian pemerintah Filipina mengganti bahasa nasionalnya dari  bahasa Tagalog menjadi bahasa Pilipino. Begitupun yang terjadi di India. Pengangkatan dan pengakuan adanya lebih dari satu bahasa nasional adalah karena bahasa-bahasa yang dijadiakan bahasa nasional itu bukanlah lingua franca yang berlaku diseluruh India (lingua francanya juga bahasa Inggris).
2.2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan.
Berdasarkan tahap perolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adlah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah suatu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara anak. Umpanya, bahasa ibu penduduk asli di lereng Gunung Merapi adalah bahasa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi Danau Batur adalah bahasa Bali. Bahasa ibu tidak mengacu pada sistem bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan mengacu pada bahasa yang dipelajari oleh seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya. Dewasa ini di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta dan Surabaya, banyak terjadi dimana ibu dan ayah menggunakan bahasa daerah jika bercakap-cakap berdua, tetapi menggunakan bahasa Indonesia bila bercakap-cakap dengan anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa bahasa ibu si anak adalah bahasa Indonesia, karena bahasa itulah yang dipelajari si anak dari ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena bahasa inilah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andaikata kemudian si anak mempeajari bahasa lain lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir itu disebut bahasa ketiga (disingakat B3). Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima, dan dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru ia pelajari setelah masuk sekolah, dan ketika ia sudah menguasai bahasa ibunya; kecuali mereka yang sejak bayi mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.
Yang disebut bahasa asing akan selalu menjadi bahasa yang kedua bagi seorang anak. Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bahasa Indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua. Kalau dipelajari setelah menguasai bahasa ibu seperti pada kebanyakan penutur di India, di Malaysia, dan di Filipina. Bisa juga menjadi bahasa negara kalau bahasa asing itu digunakan untuk menjalankan kenegaraan dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing dapat menjadi bahasa pertama bagi seorang anak kalau anak itu “tercerabut” dari bumi negaranya dan menggunakan bahasa itu sejak bayinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar