BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Hakikat Variasi Bahasa
Variasi atau
ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga
Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik
yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi
ciri-ciri bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan. Kemudian
dengan mengutip pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksana mengatakan bahwa
sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi pelbagai variasi
bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.
Sebagai
sebuah langue sebuah bahasa
mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa
itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat
tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang
konkret, yang disebut parole, menjadi
tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata Inggris Variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan
hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena
kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan
memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan
semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan untuk penutur yang sangat
banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahsa Inggris yang
digunakan hampir di seluruh dunia;
bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thariq di Afrika Utara sampai ke
perbatasan Iran (dan juga sebagai bahasa agama Islam dikenal hampir di seluruh
dunia); dan bahasa Indonesia yang wilayahnya penyebarannya dari Sabang sampai
Merauke.
Dalam hal variasi atau
ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama,
variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial
penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam
bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragamn fungsi bahasa. Andaikan penutur bahasa itu
adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan
pekerjaan, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu
menjadi seragam. Kedua, variasi atau
ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi
dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja
diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat
diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan didalam masyarakat sosial.
Jadi variasi bahasa itu terjadi
sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua,
variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi
dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja
diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi bahasa itu dapat diklasifikasikan
berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan didalam masyarakat
sosial. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek)
dan pemakaian (register). Berikut ini akan dibicarakan variasi-variasi bahasa
tersebut, dimulai dari segi penutur ataupun dari segi penggunanya.
2.1.1 Variasi
dari Segi Penutur
pertama
yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah penutur bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang
bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi
bahasannya ayau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan
“warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup
akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suatu bicaranya tanpa melihat
orangnya, kita dapat mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya
memang lebih mudah daripada melalui karya tulisnya. Namun kalau kita sering
membaca karya Hamka, Alisjahbana, atau Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak
bila kita menemui selembar karya mereka, meskipun tidak dicantumkan nama
mereka, maka kita dapat mengenali lembaran itu karya siapa. Kalau setiap orang
memiliki idioleknya masing-masing, maka apakah berarti idiolek itu menjadi
banyak? Ya, memang demikian, bila ada 1000 orang penutur, misalnya, maka akan
ada 1000 idiolek dengan cirinya masing-masing yang meskipun sangat kecil atau
sedikit cirinya itu, tepai masih menunjukkan idioleknya. Dua orang kembarpun,
warna suaranya, yang menandai idioleknya, masih dapat diperbedakan.
Kedua
berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek,
yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang
berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini
didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim
disebut dialek areal, dialek regional,
atau dialek geografi (tetapi dalam hal
ini kita sebut dialek saja).
Para penutur dalam
suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki
kesamaan ciri yang menandai dialeknya juga. Misalnya, bahsa Jawa dialek
Banyumas memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri yang dimiliki bahsa
Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang atau juga dialek Surabaya.
Ketiga
berdasarkan
penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni
variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu.
Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada
masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi
yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa pada ketiga zaman itu
tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
Yang paling tampak biasanya dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali
berubah akibat perubahansosial budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kalau
Anda membaca buku yang diterbitkan dari
tiga zaman yang berbeda, Anda akan
melihat perbedaan itu. Dalam bahasa Inggris, kita bisa melihat bedanya variasi
bahasa Inggris zaman sebelun Shakespeare, zaman Shakespeare, dan zaman sekarang
(lebih jauh).
Keempat
berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni
variasi bahasa yang berkenaan dengan
status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya
variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu
untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para
penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi,
dan sebagainya. Berdasarkan usia, kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa
yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang-orang
yang tergolong lansia (lanjut usia).
Cobalah Anda perhatikan bahasa yang digunakan para kelompok umur itu, niscaya
Anda akan dapat melihat perbedaan. Perbedaan variasi bahasa disini bukanlah
yang berkenan dengan isinya, isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang
morfologi, sintaksis, dan juga kosakata. Berdasarkan pendidikan kita juga bisa
melihat adanya variasi sosial ini. Para penutur yang beruntung memperoleh
pendidikan tinggi,akan berbeda variasi bahasanya dengan mereka yang hanya berpendidikan menengah, rendah, atau yang
tidak berpendiidkan sama sekali. Perbedaan ini yang paling jelas adalah dalam bidang kosakata, pelafalan, dan
juga morfologi, dan sintaksis. Di
Jakarta ada harian Kompas dan harian Pos Kota, dua harian yang paling
populer. Namun, Anda bisa melihat dari kelompok mana saja pembaca yang kedua
harian itu. Harian Kompas tampaknya
lebih banyak dibaca oleh golongan terpelajar, sedangkan harian Pos Kota lebih banyak bibaca golongan
buruh dan kurang terpelajar. Berdasarkan seks (jenis kelamin) penutur dapat
pila disaksikan adanya dua jenis variasi bahasa. Cobalah Anda dengarkan
percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasisiwi dan ibu-ibu. Lalu,,
bandingkan dengan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dan
bapak-bapak. Anda pasti akan menandai perbedaan variasi keduanya. Dalam hal ini
dapat juga dicatat adanya variasi bahasa yang digunakan oleh para wanita dan kaum gay, dua kelompok manusia yang mempunyai penyimpangan seks, seperti
yang dilaporkan Dede Oetomo (lihat
Muhadjir dan Basuki Suhardi 1990).
Sehubung dengan variasi bahasa berkenaan
dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya
dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan
yang disebut bahasa prokem.
·
Akrolek adalah variasi
sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial
lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalang yang disebut bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan
oleh para bangsawan kraton Jawa.
·
Basilek
adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap
dipandang rendah. Bahasa Inggris yang digunakan oleh cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu
juga bahasa Jawa “krama ndesa”.
·
Vulgar adalah variasi
sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang
terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Pada zaman
Romawi sampai zaman pertengahan bahasa-bahasa di Eropa dianggap sebagai bahasa
vulga, sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan bahasa latin
dalam segala kegiatan mereka.
·
Slang
adalah variasi sosial yang bersifat
khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang
sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu.
Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu
berubah-ubah. Slang memang lebih
merupakan bidang kosakata dari pada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat temporal;
dan lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula
yang menggunkaannya. Karena slang ini
bersifat kelompok dan rahasia, maka timbul kesan bahwa slang ini adalah bahasa
rahasianya para pencoleng dan pejabat; padahal sebenarnya tidaklah demikian.
Faktor rahasiaan ini menyebabkan pula
kosakata yang digunakan dalam slang seringkali berubah. Dalam hal ini yang
disebut bahasa prokem (Raharjo dan Chamber Loir 1988; juga Kawira
1990) dapat dikategori sebagai Slang.
·
Kolokial
adalah variasi sosial yang digunakan
dalam cakapan sehari-hari. Kata kolokial berasal dan kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa
percakapan, bukan bahasa tulis. Juga tidak tepat kalau kolokial ini disebut
bersifat “kampungan” atau bahasa kelas golongan bawah, sebab yang penting
adalah konteks dalam pemakaiannya. Dalam bahasa Inggris lisan ungkapan-ungkapan
seperti don’t, i’d, well, pretty (very),
funny (peculiar), dan take stock in (believe) adalah dari variasi kolokial.
Berikut contoh lain ungkapan kolokial dalam bahasa Inggris dengan padanan
formalnya.
Join up - enlist
Give up - reliquil
Put up with - tolerate
Full up - filled to capacity
Know-how - technical skill
The law - a poloceman
Outside of - except
A natural - one how natural
expert
Dalam perkembangana kemudian
ungkap-ungkapan kolokial ini sering juga digunakan dalam bahasa tulisan.
Dalam bahasa Indonesia merupakan banyak
digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok
(dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak
usah), dan sebagainya. Dalam pembicaraan atau tulisan formal
ungkapan-ungkapan seperti contoh di atasa harus dihindarkan.
·
Jargon
adalah variasi sosial yang digunakan
secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan
seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat diluar
kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.
Umpamanya, dalam kelompok montir atau perbengkelan ada ungkapan-ungkapan
seperti roda gila, didongkar, dices,
dibalans, dan dipoles. Dalam
kelompok tukang batu dan bangunan ada ungkapan, seperti disipat, diekspos, disiku, dan
ditimbang.
·
Argot
adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi
tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata.
Umpamanya, dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet) pernah digunakan
ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’,
kacamata, dan arti ‘polisi, daun dalam artu ‘uang’, gemuk dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘ mangsa yang empuk’.
·
Ken (Inggris=cant)
adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek,
penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seprti
tercermin dalam ungkapan the cant of
beggar (bahasa pengemis).
2.1.2 Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenan dengan
penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang
penggunaannya, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi
bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan
untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer,
pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan
keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam
bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan
ini biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak
digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang
kegiatan ini tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis. Variasi atau
ragam bahasa ssatra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi estetis,
sehingga dipilihlah dan digunakanlah kosakata yang secara estetis memiliki ciri eufoni normatif seringkali dikorbankan dan
dihindarkan untuk mencapai efek keeufonian dan kedaya ungkapan yang tepat atau
paling tepat. Begitu juga kalau dalam bahasa umum orang mengungkapkan sesuatu
secara lugas dan polos, tetapi dalam ragam bahasa sastra akan diungkapkan
secara estetis. Dalam bahas umum orang, misalnya, akn mengatakan, “Saya sudah
tua”, tetapi dalam bahasa sastra Ali Hasjmi, seorang penyair
Indonesia,mengatakan dalam bentuk puisi.
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai
ciri tertentu, yalni bersikap sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana
karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena njurnalistik harus menyampaikan
berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak),
dan keterbatasan waktu (dalam media
elektronika). Dalam bahas Indonesia ragam jurnalistik ini dikenal dengan sering
ditinggalkannya awal me- atau awalan ber- yang di dalam ragam bahasa baku harus digunakan. Umpamanya kalimat, “ Gubernur tinjau daerah
banjir” (dalam bahasa baku berbunyi,
“Gubernur meninjau daerah banjir”). Contoh lain, “ Anaknya sekolah di Bandung”
(dalam bahasa ragam baku adalah “ Anaknya bersekolah di Bandung”).
Ragam bahasa Militer dikenal dengan
cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas dan kehidupan
kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam militer di
Indonesia dikenal dengan cirinya yang memerlukan keringkasan dan ketegasan yang
dipenuhi dengan berbagai singkatan dan akroni. Bagi orang di luar kalangan
militer, singkatan, dan akronim itu sendiri tidak menjadi persoalan.
Ragam bahasa ilmiah yang juga dikenal dengan cirinya yang lugas,
jelas, dan bebas dari keambiguan,serta segala macam, metafora dan idiom. Bebas
dari segala keambiguan karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan
secara jelas, tanpa keraguan akan makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran
makna yang berbeda. Oleh karena itulah juga, bahasa ilmiah tidak menggunakan
segala macam metafora dan idiom.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim
disebut register. Dalam pembicaraan
tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek
berkenaan dengan masalah bahasa itu
digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan
masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Dalam kehidupannya mungkin
saja seseorang hanya hidup dengan satu dialek, misalnya, seorang penduduk di
desa terpencil di lereng gunung atau di
tepi hutan. Tetapi, dia pasti tidak hidup hanya dengan satu register, sebab
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus
dilakukan pasti lebih dari satu. Dalam kehidupan modernpun ada kemungkinan
adanya seseorang yang hanya mengenal satu dialek, namun, pada umumnya dalam
masyarakat modern orang hidup dengan lebih dari satu dialek (regional maupun
sosial) dan menggeluti sejumlah register, sebab dalam masyarakat modern orang
sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.
2.1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya,
Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa
atas lima macam gaya (Inggris: Style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Dalam pembicaraan
selanjutnya kita sebut saja ragam.
·
Ragam beku
adalah variasi bahasa yang paling formal, yang dugunakan dalam situasi-situasi
khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah
di masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akte notaris, dan
surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah
ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam beku
ini kita dapati dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti undang-undang dasar,
akte notaris, naskah-naskah perjanjian jual beli, atau sewa-menyewa. Perhatikan
contoh berikut yang diangkat dari naskah Pembukuan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa swsungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa, dan oleh karena itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat-kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, hatta, dan sesungguhnya menandai ragam beku dari
variasi bahasa tersebut. Susunan kalimat
dalam ragam beku biasanya panjang-panjang, bersifat kaku; kata-katanya lengkap.
Dengan demikian para penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan
perhatian yang penuh.
·
Ragam resmi atau formal
adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas,
surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu
standart. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau
standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang
tidak resmi. Jadi, percakapan antar teman yang sudah karib atau percakapan
dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini. Tetapi pembicaraan dalam
peminangan, pembicaraan dengan seseorang dekan di kantprnya, atau diskusi dalam
ruang kuliah adalah menggunakan ragam resmi.
·
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi
bahasa yang lazim digunakan dalam
pembicaraan biasa disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi
kepada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam
bahasa yang paling operasional. Wujud ragam usaha ini berada di antara ragam
formal dan ragam informal atau ragam santai.
·
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang
digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga
atau teman karib pada waktu beristirahat,
berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini banyak menggunkan
bentuk alergo, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya
banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga
dengan struktur morfologi dan sintaksisnya. Seringkali struktur morfologi dan
sintaksis yang normatif tidak digunakan.
·
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa
digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota
keluarga, atau antar teman yang sudah karib. Ragam ini ditandai dengan
penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang
seringkali tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada
saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama. Perhatikan ketiga kalimat
contoh berikut!
(a) Saudara
boleh mengambil buku-buku ini yang saudara sukai
(b) Ambilah
yang kamu suka!
(c) Kalau
mau ambil aja!
Tingkat keformalan kalimat (a) lebih
tinggi daripada kalimat (b); dan kalimat (b) lebih tinggi daripada kaliamat
(C). Kalimat (a) termasuk ragam usaha, sebab kurang lebih untuk kalimat
seperti itulah yang biasa kita gunkana. Kalimat (b) termasuk ragam santai;
sedangkan kalimat (C) termasuk dalam ragam akrab, sebab hanya kepada teman
kariblah bentuk ujaran seperti itu yang kita gunakan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari kalimat
ragam diatas, yang dilihat dari tingkat keformalan penggunaannya, mungkin
secara bergantian kita gunkan. Kalau kita berurusan dengan masalah dokumen jual
beli, sewa menyewa., atau pembuatan akte di kantor notaris, maka kita terlibat
dengan ragam resmi.
2.1.4 Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari
segi sarana atau jalur yang digunkana. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam
lisan dan ragam trulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan
sarana atau alat tertentu, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya
ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa
bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanaya
ketidaksamaan wujud struktur ini adalah dalam berbahasa lisan atau dalam
menyampaikan informasi secara lisan,
kita dintau oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa
nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala
fisik lainnya. Padahal didalam ragam bahasa tulis hal-hal yang disebutkan itu
tidak ada, lalu, sebagai gantinya harus diekspresikan secara verbal. Umpamanya
kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada di hadapan
kita, maka secara lisan sambil menjuk atau mengarahkan pandangan pada kursi itu
kita cukup mengatakan, “tolong pindahkan ini!”. Tetapi dalam bahasa tulis
karena tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu, maka
kita harus mengatakan, “Tolong pindahkan kursi itu!”. Jadi, dengan secara
eksplisit menyebut kata kursi itu.
Dari contoh tersebut dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam
berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang
kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik. Kesalahann atau kesalahan
pengertian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiaki atau diralat, tetapi
dalam berbahasa tulis kesalahan atau kesalah pengertian baru kemusian bisa
diperbaiaki.
Ragam bahasa bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam
bahasa lisan dan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa dalam bertelegraf
sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa tulis; tetapi kedua macam sarana
komunuikasi itu mempunyai ciri-ciri dan keterbatasannya sendiri-sendiri,
menyebabkan kita tidak dapat menggunakan ragam lisan dan ragam tulis semua
kitra. Ragam bahasa dalam bertelepon dan bertelegraf menuntut persyaratan
tertentu, sehingga menyebabkan dikenal adanya ragam bahasa telepon dan ragam
bahasa telegraf, yang berbeda dengan ragam-ragam bahasa lainnya.
1.2 Jenis Variasi Bahasa
Dalam
pembicaraan mengenai variasi bahasa kita berbicara tentang satu bahasa kita berbicara tentang penggunaannya secara konkret.
Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa itu kita berkenalan dengan idiolek,
dialek, sosiolek, kronolek, fungsiolek, ragam, dan register. Pembicaraan
tentang variasi bahasa itu tidak lengkap
bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa yang juga dilihat
hanya berurusan dengan suatu bahasa, serta variasinya, juga berurusan dengan
sejumlah bahasa, baik yang diliki repertoir satu masyarakat tutur maupun yang
dimiliki dan digunakan oleh sejumlah masyarakat tutur.
2.2.1 Jenis
Bahasa Berdasarkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan faktor
sosiologis, artinya, penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal
bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik
lain, dan pewarisan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan
secara sosiologis ini penting untuk menentukan suatu sistem linguistik
tertentu, apakah bisa disetujui atau tidak oleh anggota masyarakat tutur untuk
menggunakannya dalam fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan,
dan sebagainya.
Stewart
(dalam Fishman (ed.) 1968) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan
bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonomi, (3)
historisitas, dan (4) vitalitas. Keempat faktor itu oleh Fishman (1972: 18)
disebut sebagai jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa. Secara singkat
keempat dasar itu dijelaskan sebagai berikut
· Standardisasi
atau pembakuan adalah adanya kondifikasi dan penenerimaan terhadap sebuah
bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma
yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar” (bandingkan Fishman (ed.)
1968:534). Jadi standardisasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki
kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah dikodifikasi atau tidak yang diterima
oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa baik sebagai
bahasa pertama maupun bahasa kedua.
· otonomi atau keotonomian.
Sebuah sitem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik
itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain
(Fishman 1968:535). Jadi, kalau ada dua sistem linguistik atau lebih tidak
mempunyai hubungan kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki sistem
masing-masing. Umpamanya, bahasa Inggris dan bahasa Jawa keduanya mempunyai
keotonomian sendiri-sendiri. Kalau dua sistem linguistik memiliki hubungan
kesejarahan tetapi keduanya memiliki sejumlah perbedaan struktur, maka dalam
hal ini keotonomiannya masih tampak. Misalnya, bahasa Indonesia (di Indonesia)
dan bahasa Malaysia (di Malaysia) mempunyai hubungan kesejarahan, yaitu
sama-sama berasal dari bahasa Melayu, namun keduanya memiliki keotonomian
masing-masing. Mengapa? Karena perbedaan-perbedaan struktur yang terdapat
diantara keduanya sangat jelas. Keduanya memiliki kodifikasi masing-masing, dan
tradisi kesastraan masing-masing, yang menandai keduanya juga memiliki
pembakuan masing-masing. Bahasa-bahasa yang telah mengalami usaha-usaha
pembakuan adalah bahasa yang otonom. Perlu ditekankan bahwa keotonomian sebuah
bahasa bukan datang sendiri, melainkan harus diusahakan, lebih-lebih untuk
ragam baku bahasa tulis (Fishman 1970:208).
· historisitas atau kesejarahan.
Sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau
dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman
1968:535). Faktor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu.
Jadi, faktor historisitas ini mempersoalkan, apakah sistem linguistik ini
tumbuh melalui sitem pemakaian oleh kelompok etnik atau soisal tertentu atau
tidak. Para penutur suatu sistem linguistik yang memiliki unsur kesejarahan
mempunyai kemungkinan untuk menguasai bahasa kedua (lebih lanjut disebut B2),
yaitu bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan
bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan. Bahsa Jawa dan Sunda jelas ada
unsur kesejarahannya dan jelas ada kelompok etnik yang mendukungnya. Bagaimana
dengan bahasa Indonesia? Bahwa bahasa Indonesia mempunyai unsur kesejarahan
dapat kita lihat dari kebijakan yang ada dalam pedoman pembentukan istilah
(lihat Moeliono (peny.)1988). Dalam pedoman itu disebutkan bahwa untuk
menciptakan istilah baru pertama-tama kita harus mencari kosakata dari bahasa
Indonesia yang ada sekarang; kalau tidak ada harus dicari dari kosakata bahasa
Indonesia yang sudah lama, yang sudah tidak dipakai.
· vitalitas
atau keterpakaian. Menurut
Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem
linguistik oleh suatu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi,
unsur vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut memiliki
penutur asli yang masih menggunakan atau tidak. Bahasa Jawa dan Bahasa Bali
dewasa ini jelas masih ada penutur aslinya. Tetapi bahasa Latin dan bahasa
Sansekerta dewasa ini tidak ada penutur aslinya lagi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bahasa Jawa dan bahasa Bali masih memiliki vitalitas, sedangkan
bahasa Latin dan bahasa Sansekerta tidak memiliki vitalitas lagi. Sebuah bahasa
bisa saja kehilangan vitalitas kalau para penutur aslinya telah musnah atau
telah meninggalkannya (lihat Bell 1976:148, juga Ayatrohaedi dalam Muhadjir dan
Basuki 1990:262-270). Namun bisa juga sebuah bahasa yang sudah kehilangan
vitalitasnya menjadi mempunyai vitalitas lagi kalau ada kesadaran dan usaha
dari para “ahli waris” untuk menggunakannya kembali. Misalnya bahasa Ibrani di
Israel.
Kemudian berdasarkan ada (+) atau
tidaknya (-) unsur-unsur tersebut (standardisasi, otonomi, historisitas, dan
vitalitas) Stewart membedakan adanya tujuh jenis atau tipe bahasa, seperti
tampak dalam bagan berikut.
Dasar Penjenisan
|
Jenis Bahasa
|
Contoh
|
|||
Standardisasi
|
Otonomi
|
Historisitas
|
Vitalitas
|
||
+
+
+
-
-
-
-
|
+
+
+
+
-
-
-
|
+
+
-
+
+
-
-
|
+
-
-
+
+
+
-
|
standar
klasik
artifisial
vernakuler
dialek
kreol
pijin
|
Inggris
Latin
Vo
lapuk
beberapa
bahasa daerah di Indonesia
beberapa
dialek bahasa Jawa
*
*
|
*
lihat penjelasan di bawah
Bahasa
yang berjenis standar seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia
memiliki empat dasar penjenisan (klasifikasi). Bahasa yang berjenis klasik
seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta hanya memliki tiga dasar penjenisan,
yaitu standardisasi, otonomi, dan historisitas; dan tidak mempunyai vitalitas,
karena tidak ada penuturnya lagi. Bahasa artifisial adalah bahasa buatan,
seperti bahasa Volapuk dan bahasa Esperanto. Bahasa seperti ini memiliki
ciri standardisasi dan otonomi, tetapi tidak meiliki ciri historisitas dan
vitalitas. Sedikit tambahan, yang dimaksud bahasa artifisial ini adalah bahasa
yang dibuat, disusun dengan maksud untuk dijadikan bahasa pengantar (linggua
franca) internasional. Jadi, bukan bahasa alamiyah. Menurut catatan sejarah,
ada tiga buah bahasa artifisal, yaitu bahasa Volapuk, bahasa Esperanto, dan
bahasa Interligua. Yang pertama, bahasa Volapuk, disusun oleh Johan Martin
Schleyer, seorang berkebangsaan Jerman, pada tahun 1879. Kosakatanya diambil
dari bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan bahasa Roman. Pada mulanya kehadiran
bahasa ini disambut gembira oleh masyarakat Eropa. Namun, karena sistemnya
dirasakan terlalu sukar maka kemudian orang enggan mempelajarinya, dan lalu
meniggalkannya.
2.2.1
Jenis Bahasa
Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan
sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa
negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini dikatakan berdasarkan sikap
sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan. Ada
kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada sebuah sitem
linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem linguistik yang
berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu sistem linguistik
yang sama; sedangkan di India, di Filipina, dan Singapura tidak.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai
bahasa nasional, seringkali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah
kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan)
sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Bahasa Indonesia, yang
berasal dari bahasa Melayu, adalah bahasa nasional bagi bangsa Indonesia;
bahasa Pilipino adalah bahasa nasional bagi bangsa Filipina; bahasa Malaysia
adalah bahasa nasional bagi bangsa Malaysia; dan bahasa melayu adalah bahasa
nasional bagi bangsa Singapura. Jadi, bangsa Indonesia dikenal sebagai suatu
bangsa adalah, antara lain, karena bahasa Indonesianya; bangsa Filipino dikenal
sebagai suatu bangsa karena bahasa Pilipinonya. Pengangkatan sebuah sistem
linguistik menjadi bahasa adalah berkat sikap dan pemikiran politik, yaitu agar
dikenal sebagai sebagai sebuah bangsa (dengan negaranya yang berdaulat dan
berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya. Pengangkatan sebuah
sistem linguistik, yang ada pada masyarakat multilingual, menjadi sebuah bahasa
nasional, bisa berjalan dengan mulus, dalam arti, tidak ada keberatan dari
suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal itu karena bahasa melayu yang
diangkat menjadi bahasa nasional itu, telah berabad-abad lamanya menjadi lingua
franca diseluruh wilayah Nusantara. Tetapi pengankatan bahasa Tagalog menjadi
bahasa nasional Filipina kurang mulus prosesnya, Karena bahasa tagalong itu
bukan lingua franca diseluruh wialayah Filipina (lingua francanya adalah bahasa
Inggris). Oleh karena itulah, kemudian pemerintah Filipina mengganti bahasa
nasionalnya dari bahasa Tagalog menjadi
bahasa Pilipino. Begitupun yang terjadi di India. Pengangkatan dan pengakuan
adanya lebih dari satu bahasa nasional adalah karena bahasa-bahasa yang
dijadiakan bahasa nasional itu bukanlah lingua franca yang berlaku diseluruh
India (lingua francanya juga bahasa Inggris).
2.2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap
Pemerolehan.
Berdasarkan tahap
perolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa
kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan
bahasa pertama adlah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang
disebut bahasa ibu adalah suatu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari
secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara anak. Umpanya, bahasa ibu
penduduk asli di lereng Gunung Merapi adalah bahasa Jawa dan bahasa ibu
penduduk asli di tepi Danau Batur adalah bahasa Bali. Bahasa ibu tidak mengacu
pada sistem bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan
mengacu pada bahasa yang dipelajari oleh seorang anak dalam keluarga yang
mengasuhnya. Dewasa ini di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta dan
Surabaya, banyak terjadi dimana ibu dan ayah menggunakan bahasa daerah jika
bercakap-cakap berdua, tetapi menggunakan bahasa Indonesia bila bercakap-cakap
dengan anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa bahasa ibu si anak
adalah bahasa Indonesia, karena bahasa itulah yang dipelajari si anak dari
ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena
bahasa inilah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak
mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang
dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat
B2). Andaikata kemudian si anak mempeajari
bahasa lain lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir itu disebut bahasa ketiga (disingakat B3). Begitu
pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat,
kelima, dan dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama anak Indonesia adalah
bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua
karena baru ia pelajari setelah masuk sekolah, dan ketika ia sudah menguasai
bahasa ibunya; kecuali mereka yang sejak bayi mempelajari bahasa Indonesia dari
ibunya.
Yang disebut bahasa asing akan selalu menjadi bahasa yang kedua bagi seorang
anak. Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu
bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab,
bahasa Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bahasa Indonesia.
Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti
kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua. Kalau dipelajari setelah menguasai
bahasa ibu seperti pada kebanyakan penutur di India, di Malaysia, dan di
Filipina. Bisa juga menjadi bahasa negara kalau bahasa asing itu digunakan
untuk menjalankan kenegaraan dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing
dapat menjadi bahasa pertama bagi seorang anak kalau anak itu “tercerabut” dari
bumi negaranya dan menggunakan bahasa itu sejak bayinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar